Tuesday, August 9, 2011

Buda Keliwon Pegatuwakan



Pegat-uwakan artinya pegat warah atau diam, tidak berbicara. Pada hari yang suci ini para Sang Maha Muni, para pakar dan orang-orang budiman melakukan tapa diam (monabrata) atau brata dhyana, atau semadhi pralina. Tujuannya ialah menyatukan tenaga hidup (prana) di badan kita, yang menyebabkan segar bugar dan sehatnya jiwa raga. Di samping itu dihaturkan widhi-widhana, bebanten sarwa pawitra, canang wangi-wangi, sesayut dirgha yusa, panyeneng, tetebus, dihaturkan kehadapan Dewa Bhatara, terutama Sanghyang Widhi Wasa dengan perantaraan asap dupa harum serta dengan menyan astanggi.
Pengastawa dilaksanakan dengan pikiran dan budhi cita yang suci nirmala memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan para Dewa / Bhatara memberikan rakhmat kedirghayusaaning jagat raya dan memujikan atas welas asih serta kemurahan-Nya melimpahkan karunia di mayapada ini demi kesempurnaan dunia sampai dengan seluruh sarwa prani.
dikutip dari: babad bali


Buda Keliwon Pegatuwakan. Hari ini menghaturkan sesaji kehadapan Shang Hyang Widi, sebagai tanda puji syukur atas kemurahan beliau melimpahkan rahmatNya sehingga hari raya Galungan dan Kuningan berjalan dengan selamat.
Buda kliwon pahang juga disebut dengan Buda Kliwon Pegat Uwakan yang menandai berakhirnya rangkaian Hari Raya Galungan yang ditandai dengan mencabut penjor di muka rumah.


''Buda Kliwon Pegat Uwakan'' Berakhirnya Rangkaian Galungan
SELURUH rangkaian kegiatan hari raya Galungan berakhir pada Buda Kliwon Wuku Pahang atau yang lebih dikenal Buda Kliwon Pegat Uwakan, Rabu (12/1) kemarin. Apa makna Buda Kliwon Pahang?

Dosen IHDN Denpasar Drs. Made Surada, M.A., Rabu kemarin mengatakan Buda Kliwon Pegat Uwakan, pegat berarti putus dan uwakan (uwak) berarti kembali -- merupakan hari berakhirnya rangkaian Galungan. Rangkaian Galungan itu dimulai dari Tumpek Wariga sampai Buda Kliwon Pahang (Buda Kliwon Pegat Uwakan). Selama rangkaian Galungan itu, di masyarakat dikenal ada istilah Uncal Balung. Selama Uncal Balung itu masyarakat umumnya pantang melakukan kegiatan Panca Yadnya. Kecuali, pujawali atau piodalan di pura ataupun di sanggah/merajan yang kebetulan saat itu jatuh tegak piodalan-nya. Tetapi, di beberapa daerah tertentu tidak dikenal istilah tersebut.

Lanjut Surada yang mantan Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN ini, setelah Buda Kliwon Pegat Uwakan, umat umumnya kembali memilih dewasa ayu untuk melaksanakan upacara Panca Yadnya. Hal yang sama dikatakan Ketua Yayasan Giri Kusuma Sejati A.A. Gde Rai Tjandra, S.E. bahwa setelah Buda Kliwon Pegat Uwakan, umat umumnya baru kembali menyelenggarakan upacara Panca Yadnya.

Made Surada menambahkan, sebagai akhir dari rangkaian Galungan, pada Buda Kliwon Pahang, penjor Galungan dicabut. Atribut penjor seperti bakang-bakang, lamak, sampian dan sebagainya dibakar. Abunya dimasukkan ke dalam bungkak nyuh gading kemudian ditanam di belakang pelinggih Rong Telu. Maknanya, umat memohon kepada Ida Sang Hyang Widi agar diberkati kesuburan. Sebelum mencabut penjor, umat terlebih dahulu ngaturan banten atau canang di sanggah/merajan bahwa rangkaian rerahinan suci Galungan sudah selesai. Dilanjutkan kemudian prosesi masegeh, termasuk masegeh di lokasi penjor. Seusai masegeh, penjor Galungan pun dicabut.

Ketua Parisada Bali Dr. IGN Sudiana, M.Si. menyampaikan hal senada bahwa rangkaian Galungan berakhir pada Buda Kliwon Pahang atau dikenal dengan istilah Buda Kliwon Pegat Uwakan atau ada yang menyebut Buda Kliwon Pegat Warah. Buda Kliwon Pegat Warah merupakan hari berakhirnya Galungan yang dimulai dari Tumpek Wariga. Selama 42 hari berlangsung warah-warah pengetahuan tentang dharma. Selanjutnya, umat tinggal mengimplementasikan atau menerapkan nilai-nilai dharma itu dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kedamaian dan ketenangan di dunia.

Kata Sudiana yang Dekan Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar, selama rangkaian hari raya Galungan yang berlangsung satu bulan tujuh hari, umat diajarkan untuk mengendalikan diri agar bisa hidup bersama dan bisa melakukan pelayanan, pengabdian dan peningkatan kualitas SDM. Hidup berdampingan dengan sesama secara damai, saling membantu dan saling menghargai merupakan tujuan hidup yang ideal sesuai dengan ajaran agama.

Menumbuhkan kepekaan sosial atau rasa empati juga diamanatkan oleh ajaran agama. Dalam konteks berakhirnya rangkaian Galungan, umat diingatkan untuk selalu bisa menerapkan nilai-nilai dharma. Kemenangan melawan adharma itu mesti terus dapat dipertahankan. Dalam konteks kekinian, kemenangan yang dimaksud bisa berupa kemenangan dalam menghadapi persaingan global. Agar bisa tampil memenangkan persaingan, kualitas SDM Hindu perlu terus ditingkatkan. Dengan kualitas yang andal, diharapkan SDM kita mampu memenangkan persaingan yang demikian ketat di era kesejagatan ini. (lun)
dikutip dari: Bali Post